Bupati Asahan : IMM harus jadi Motor penggerak pembangunan Daerah
Kisaran (SIB) – Ikatan Mahasiswa
Muhammadiyah (IMM) harus menjadi motor penggerak pembangunan serta mampu
menempatkan diri menjadi kaum cendikia yang berakhlak mulia. Demikian
disampaikan Bupati Asahan Drs H Risuddin saat menerima audiensi Panitia
Muscab VII IMM Asahan Tanjung Balai, Kamis (22/11) di ruang kerjanya. Selain
memberikan apresiasi positif Bupati Asahan juga mengharapkan agar dalam
musyawarah yang akan dilangsungkan pada 3-4 Desember 2007 di Hotel
Akasia Kisaran nanti, IMM mampu dapat melahirkan buah pikiran
terbaiknya. Kemudian, dapat memilih serta menyusun kepengurusan baru
secara demokrasi tanpa memaksakan kehendak perseorangan.
“Ciptakan program kerja yang dapat memberikan arti langsung di tengah
masyarakat dan lakukanlah musyawarah secara bermartabat. Demokrasi
jangan ditafsirkan secara salah arti,” ujarnya seraya berharap moto
Muscab tersebut “Tingkatkan Progresifitas Gerakan Ikatan, Ciptakan Kader
Religius Nasionalis” dapat menjadi motivator mahasiswa dalam menjadikan
dirinya insan bertaqwa dan menghargai serta menjaga kehormatan maupun
kedaulatan bangsa. Ketua PC IMM Asahan Tanjung Balai, Yasir Ul Haque
didampingi Sekretarisnya, Rusli Marpaung serta Panitia Pelaksana Muscab
yakni Fahrul Simangunsong (Ketua), Kiki Komeini (Sekretaris), Anda
Suhendra Rambe dan Dianti Novita Marwa pada kesempatan tersebut juga
menyampaikan dalam rangkaian kegiatan acara dimaksud akan digelar talk
show bertema membangun kemandirian gerakan mahasiswa dalam percepatan
pembangunan daerah.“Kita berharap dari forum diskusi ini akan lahir langkah-langkah strategis yang akan dilakukan mahasiswa untuk melakukan peran serta aktifnya,” ujar Yasir seraya menyebutkan selaku keynote speaker pada acara itu adalah anggota DPR RI , H Nasril Bahar SE serta pemateri Abdul Hakim Siagian SH MH (anggota DPRD SU), Drs. Adi Munasip, Drs Putrama Al Khairi (anggota DPRD Medan), Dahroh Hutagaol SE (anggota DPRD Asahan) serta Ketua Umum DPD IMM Sumut 2000-2002 Muslim Simbolon SAg. Bertindak sebagai moderator Suhandi (Ketum DPD IMM Sumut 2003-2005).
“Para pemateri dan moderator adalah mantan Ketua IMM Sumatera Utara dan Asahan. Ketua DPD IMM Sumut Zulfi Amri juga menyatakan kesiapannya untuk hadir,” tukas Yasir.
Sejarah IMM
Kelahiran
IMM tidak lepas kaitannya dengan sejarah perjalanan Muhammadiyah, dan
juga bisa dianggap sejalan dengan faktor kelahiran Muhammadiyah itu
sendiri. Hal ini berarti bahwa setiap hal yang dilakukan Muhammadiyah
merupakan perwujudan dari keinginan Muhammadiyah untuk memenuhi
cita-cita sesuai dengan kehendak Muhammadiyah dilahirkan.
Di
samping itu, kelahiran IMM juga merupakan respond atas
persoalan-persoalan keummatan dalam sejarah bangsa ini pada awal
kelahiran IMM, sehingga kehadiran IMM sebenarnya merupakan sebuah
keha-rusan sejarah. Faktor-faktor problematis dalam persoalan keummatan
itu antara lain ialah sebagai berikut (Farid Fathoni, 1990: 102) :
1. Situasi
kehidupan bangsa yang tidak stabil, pemerintahan yang otoriter dan
serba tunggal, serta adanya ancaman komunisme di Indonesia
2. Terpecah-belahnya umat Islam dalam bentuk saling curiga dan fitnah, serta kehidupan politik ummat Islam yang semakin buruk
3. Terbingkai-bingkainya kehidupan kampus (mahasiswa) yang berorientasi pada kepentingan politik praktis
4. Melemahnya kehidupan beragama dalam bentuk merosotnya akhlak, dan semakin tumbuhnya materialisme-individualisme
5. Sedikitnya pembinaan dan pendidikan agama dalam kampus, serta masih kuatnya suasana kehidupan kampus yang sekuler
6. Masih membekasnya ketertindasan imperialisme penjajahan dalam bentuk keterbelakangan, kebodohan, dan kemiskinan
7. Masih
banyaknya praktek-praktek kehidupan yang serba bid’ah, khurafat, bahkan
ke-syirik-an, serta semakin meningkatnya misionaris-Kristenisasi
8. Kehidupan ekonomi, sosial, dan politik yang semakin memburuk
Dengan
latar belakang tersebut, sesungguhnya semangat untuk mewadahi dan
membina mahasiswa dari kalangan Muhammadiyah telah dimulai sejak lama.
Semangat tersebut sebenarnya telah tumbuh dengan adanya keinginan untuk
mendirikan perguruan tinggi Muhammadiyah pada Kongres Seperempat Abad
Muhammadiyah di Betawi Jakarta pada tahun 1936. Pada saat itu, Pimpinan
Pusat Muhammadiyah diketuai oleh KH. Hisyam (periode 1934-1937).
Keinginan tersebut sangat logis dan realistis, karena keluarga besar
Muhammadiyah semakin banyak dengan putera-puterinya yang sedang dalam
penyelesaian pendidikan menengahnya. Di samping itu, Muhammadiyah juga
sudah banyak memiliki amal usaha pendidikan tingkat menengah.
Gagasan
pembinaan kader di lingkungan maha-siswa dalam bentuk penghimpunan dan
pembinaan langsung adalah selaras dengan kehendak pendiri Muhammadiyah,
KHA. Dahlan, yang berpesan bahwa “dari kalian nanti akan ada yang jadi dokter, magister, insinyur, tetapi kembalilah kepada Muhammadiyah” (Suara
Muhammadiyah, nomor 6 tahun ke-68, Maret II 1988, halaman 19). Dengan
demikian, sejak awal Muhammadiyah sudah memikirkan bahwa kader-kader
muda yang profesional harus memiliki dasar keislaman yang tangguh dengan
kembali ke Muhammadiyah.
Namun
demikian, gagasan untuk menghimpun dan membina mahasiswa di lingkungan
Muhammadiyah cenderung terabaikan, lantaran Muhammadiyah sendiri belum
memiliki perguruan tinggi. Belum mendesaknya pembentukan wadah kader di
lingkungan mahasiswa Muhammadiyah saat itu juga karena saat itu jumlah
mahasiswa yang ada di lingkungan Muhammadiyah belum terlalu banyak.
Dengan demikian, pembinaan kader mahasiswa Muhammadiyah dilakukan
melalui wadah Pemuda Muhammadiyah (1932) untuk mahasiswa putera dan
melalui Nasyi’atul Aisyiyah (1931) untuk mahasiswa puteri.
Pada
Muktamar Muhammadiyah ke-31 pada tahun 1950 di Yogyakarta, dihembuskan
kembali keinginan untuk mendirikan perguruan tinggi Muhammadiyah. Namun
karena berbagai macam hal, keinginan tersebut belum bisa diwujudkan,
sehingga gagasan untuk dapat secara langsung membina dan menghimpun para
mahasiswa dari kalangan Muhammadiyah tidak berhasil. Dengan demikian,
keinginan untuk membentuk wadah bagi mahasiswa Muhammadiyah juga masih
jauh dari kenyataan.
Pada
Muktamar Muhammadiyah ke-33 tahun 1956 di Palembang, gagasan pendirian
perguruan tinggi Muhammadiyah baru bisa direalisasikan. Namun gagasan
untuk mewadahi mahasiswa Muhammadiyah dalam satu himpunan belum bisa
diwujudkan. Untuk mewadahi pembinaan terhadap mahasiswa dari kalangan
Muhammadiyah, maka Muhammadiyah membentuk Badan Pendidikan Kader (BPK)
yang dalam menjalankan aktivitasnya bekerja sama dengan Pemuda
Muhammadiyah.
Gagasan
untuk mewadahi mahasiswa dari ka-langan Muhammadiyah dalam satu
himpunan setidaknya telah menjadi polemik di lingkungan Muhammadiyah
sejak lama. Perdebatan seputar kelahiran Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah
berlangsung cukup sengit, baik di kalangan Muhammadiyah sendiri maupun
di kalangan gerakan mahasiswa yang lain. Setidaknya, kelahiran IMM
sebagai wadah bagi mahasiswa Muhammadiyah mendapatkan resistensi, baik
dari kalangan Muhammadiyah sendiri maupun dari kalangan gerakan
mahasiswa yang lain, terutama Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Di
kalangan Muhammadiyah sendiri pada awal munculnya gagasan pendirian IMM
terdapat anggapan bahwa IMM belum dibutuhkan kehadirannya dalam
Muhammadiyah, karena Pemuda Muhammadiyah dan Nasyi’atul Aisyiyah masih
dianggap cukup mampu untuk mewadahi mahasiswa dari kalangan
Muhammadiyah.
Di
samping itu, resistensi terhadap ide kelahiran IMM pada awalnya juga
disebabkan adanya hubungan dekat yang tidak kentara antara Muhammadiyah
dengan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Hubungan dekat itu dapat dilihat
ketika Lafrane Pane mau menjajagi pendirian HMI. Dia bertukar pikiran
dengan Prof. Abdul Kahar Mudzakir (tokoh Muhammadiyah), dan beliau
setuju. Pendiri HMI yang lain ialah Maisarah Hilal (cucu KHA. Dahlan)
yang juga seorang aktifis di Nasyi’atul Aisyiyah.
Bila
asumsi itu benar adanya, maka hubungan dekat itu selanjutnya sangat
mempengaruhi perjalanan IMM, karena dengan demikian Muhammadiyah saat
itu beranggapan bahwa pembinaan dan pengkaderan mahasiswa Muhammadiyah
bisa dititipkan melalui HMI (Farid Fathoni, 1990: 94). Pengaruh hubungan
dekat tersebut sangat besar bagi kelahiran IMM. Hal ini bisa dilihat
dari perdebatan tentang kelahiran IMM. Pimpinan Muhammadiyah di tingkat
lokal seringkali menganggap bahwa kelahiran IMM saat itu tidak
diperlukan, karena sudah terwadahi dalam Pemuda Muhammadiyah dan
Nasyi’atul Aisyiyah, serta HMI yang sudah cukup eksis (dan mempunyai
pandangan ideologis yang sama). Pimpinan Muhammadiyah pada saat itu
lebih menganakemaskan HMI daripada IMM. Hal ini terlihat jelas dengan
banyaknya pimpinan Muhammadiyah, baik secara pribadi maupun kelembagaan,
yang memberikan dukungan pada aktivitas HMI. Di kalangan Pemuda
Muhammadiyah juga terjadi perdebatan yang cukup sengit seputar kelahiran
IMM. Perdebatan seputar kelahiran IMM tersebut cukup beralasan, karena
sebagian pimpinan (baik di Muhammadiyah, Pemuda Muhammadiyah, Nasyi’atul
Aisyiyah, serta amal-amal usaha Muhammadiyah) adalah kader-kader yang
dibesarkan di HMI.
Setelah
mengalami polemik yang cukup serius tentang gagasan untuk mendirikan
IMM, maka pada tahun 1956 polemik tersebut mulai mengalami pengendapan.
Tahun 1956 bisa disebut sebagai tahap awal bagi embrio operasional
pendirian IMM dalam bentuk pemenuhan gagasan penghimpun wadah mahasiswa
di lingkungan Muhammadiyah (Farid Fathoni, 1990: 98). Pertama, pada
tahun itu (1956) Muham-madiyah secara formal membentuk kader terlembaga
(yaitu BPK). Kedua, Muhammadiyah pada tahun itu telah bertekad untuk
kembali pada identitasnya sebagai gerakan Islam dakwah amar ma’ruf nahi
munkar (tiga tahun sesudahnya, 1959, dikukuhkan dengan melepas-kan diri
dari komitmen politik dengan Masyumi, yang berarti bahwa Muhammadiyah
tidak harus mengakui bahwa satu-satunya organisasi mahasiswa Islam di
Indonesia adalah HMI). Ketiga, perguruan tinggi Muham-madiyah telah
banyak didirikan. Keempat, keputusan Muktamar Muhammadiyah bersamaan
Pemuda Muhammadiyah tahun 1956 di Palembang tentang “…..
menghimpun pelajar dan mahasiswa Muhammadiyah agar kelak menjadi pemuda
Muhammadiyah atau warga Muhammadiyah yang mampu mengembangkan amanah.”
Baru
pada tahun 1961 (menjelang Muktamar Muhammadiyah Setengah Abad di
Jakarta) diseleng-garakan Kongres Mahasiswa Universitas Muham-madiyah di
Yogyakarta (saat itu, Muhammadiyah sudah mempunyai perguruan tinggi
Muhammadiyah sebelas buah yang tersebar di berbagai kota). Pada saat
itulah, gagasan untuk mendirikan IMM digulirkan sekuat-kuatnya.
Keinginan tersebut ternyata tidak hanya dari mahasiswa Universitas
Muhammadiyah, tetapi juga dari kalangan mahasiswa di berbagai
universitas non-Muhammadiyah. Keinginan kuat tersebut tercermin dari
tindakan para tokoh Pemuda Muhammadiyah untuk melepaskan Departemen
Kemahasiswaan di lingkungan Pemuda Muhammadiyah untuk berdiri sendiri.
Oleh karena itu, lahirlah Lembaga Dakwah Muhammadiyah yang
dikoordinasikan oleh Margono (UGM, Ir.), Sudibyo Markus (UGM, dr.),
Rosyad Saleh (IAIN, Drs.), sedang-kan ide pembentukannya dari Djazman
al-Kindi (UGM, Drs.).
Tahun
1963 dilakukan penjajagan untuk mendirikan wadah mahasiswa Muhammadiyah
secara resmi oleh Lembaga Dakwah Muhammadiyah dengan disponsori oleh
Djasman al-Kindi yang saat itu menjabat sebagai Sekretaris Pimpinan
Pusat Pemuda Muhammadiyah. Dengan demikian, Lembaga Dakwah Muhammadiyah
(yang banyak dimotori oleh para mahasiswa Yogyakarta) inilah yang
menjadi embrio lahirnya IMM dengan terbentuknya IMM Lokal Yogyakarta.
Tiga
bulan setelah penjajagan tersebut, Pimpinan Pusat Muhammadiyah
meresmikan berdirinya Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) pada tanggal
29 Syawal 1384 Hijriyah atau 14 Maret 1964 Miladiyah. Penandatanganan
Piagam Pendirian Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah dilakukan oleh Ketua
Pimpinan Pusat Muhammadiyah saat itu, yaitu KHA. Badawi. Resepsi
peresmian IMM dilaksanakan di Gedung Dinoto Yogyakarta dengan
penandatanganan ‘Enam Pene-gasan IMM’ oleh KHA. Badawi, yaitu :
1. Menegaskan bahwa IMM adalah gerakan mahasiswa Islam
2. Menegaskan bahwa Kepribadian Muhammadiyah adalah landasan perjuangan IMM
3. Menegaskan bahwa fungsi IMM adalah eksponen mahasiswa dalam Muhammadiyah
4. Menegaskan
bahwa IMM adalah organisasi maha-siswa yang sah dengan mengindahkan
segala hukum, undang-undang, peraturan, serta dasar dan falsafah negara
5. Menegaskan bahwa ilmu adalah amaliah dan amal adalah ilmiah
6. Menegaskan bahwa amal IMM adalah lillahi ta’ala dan senantiasa diabdikan untuk kepentingan rakyat
Tujuan
akhir kehadiran Ikatan Mahasiswa Muham-madiyah untuk pertama kalinya
ialah membentuk akademisi Islam dalam rangka melaksanakan tujuan
Muhammadiyah. Sedangkan aktifitas IMM pada awal kehadirannya yang paling
menonjol ialah kegiatan keagamaan dan pengkaderan, sehingga seringkali
IMM pada awal kelahirannya disebut sebagai Kelompok Pengajian Mahasiswa
Yogya (Farid Fathoni, 1990: 102).
Adapun maksud didirikannya Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah antara lain adalah sebagai berikut :
1. Turut memelihara martabat dan membela kejayaan bangsa
2. Menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam
3. Sebagai upaya menopang, melangsungkan, dan meneruskan cita-cita pendirian Muhammadiyah
4. Sebagai pelopor, pelangsung, dan penyempurna amal usaha Muhammadiyah
5. Membina, meningkatkan, dan memadukan iman dan ilmu serta amal dalam kehidupan bangsa, ummat, dan persyarikatan
Dengan
berdirinya IMM Lokal Yogyakarta, maka berdiri pulalah IMM lokal di
beberapa kota lain di Indonesia, seperti Bandung, Jember, Surakarta,
Jakarta, Medan, Padang, Tuban, Sukabumi, Banjarmasin, dan lain-lain.
Dengan demikian, mengingat semakin besarnya arus perkembangan IMM di
hampir seluruh kota-kota universitas, maka dipandang perlu untuk
meningkatkan IMM dari organisasi di tingkat lokal menjadi organisasi
yang berskala nasional dan mempunyai struktur vertikal.
Atas prakarsa Pimpinan IMM Yogyakarta, maka bersamaan dengan Musyawarah IMM se-Daerah Yogyakarta pada tanggal 11 – 13 Desember 1964 diselenggarakan Musyawarah Nasional Pendahuluan IMM seluruh Indonesia yang dihadiri oleh hampir seluruh Pimpinan IMM Lokal dari berbagai kota. Musyawarah Nasional tersebut bertujuan untuk mempersiapkan kemungkinan diselenggarakannya Musyawarah Nasional Pertama Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah pada bulan April atau Mei 1965. Musyawarah Nasional Pendahuluan tersebut menyepakati penunjukan Pimpinan IMM Yogyakarta sebagai Dewan Pimpinan Pusat Sementara IMM (dengan Djazman al-Kindi sebagai Ketua dan Rosyad Saleh sebagai Sekretaris) sampai diselenggarakannya Musyawarah Nasional Pertama di Solo. Dalam Musyawarah Pendahuluan tersebut juga disahkan asas IMM yang tersusun dalam ‘Enam Penegasan IMM’, Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga IMM, Gerak Arah IMM, serta berbagai konsep lainnya, termasuk lambang IMM, rancangan kerja, bentuk kegiatan, dan lain-lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar